Bunga merah yang sengaja aku tumbuhkan sampai ia mekar mewangi.
Kemarin kelihaian jemari melucutinya setangkai-setangkai tanpa sebab-akibat.
Sejujurnya, karena aku suka mengenduskan hidungku pada kelopak lembut merahnya — tanpa mau mengerti patahan tangkai yang kulucuti paksa.
Aku berjingkat gembira melihat rangkaian bunga saling tali-menali membentuk susunan sempurna bak tanpa celah.
Ia kesusahan bernapas, mencari celah untuk tetap bertahan hidup. Namun, apadaya kalau 3986 menit berikutnya ia kusut — mati.
Aku suka menciumi aromanya saat merah, mengkisut pun masih tercium. Pula berkata, ia akan tetap indah sekalipun membangkai. Diraup semua demi kepuasan diri. Tanpa ada hasrat bertanya kabar si merah — yang kelaparan, kehausan. Ia hanya dijejal oleh ciuman yang tidak berarti apa-apa bagi tubuhnya.
“Kalau boleh aku teriak Sia, jangan kau lucuti aku dari rumah-ku. Bukankah kau sendiri kebingungan mencari rumah-mu, Sia?” Si merah meredamkan suaranya pada angin, melebur. Rintihannya tiada terdengar — budek.
Apa artinya pandangan penuh estetika, naluri terkikis.
Mengapa tak biarkan ia tetap pada rumahnya, jangan jadi pemerkosa yang lari dari peran tanggung jawab.
Puan dan Tuan saling merajut kerja sama, sangat kompak — si merah hancur.
Biarkan aku pada rumah-ku.
Biarkan aku tetap di sini.
Biarkan aku membangkai sendiri.
Jangan rebut waktu bahagia-ku.
Suaranya melebur tak terselamatkan — hanya naluri yang mau mendengar.
—