//Marah//
Kerap kali menjadi teman paling akrab yang selalu memeluk tiap keadaan seolah tidak berpihak.
Dunia ini milik bersama, sayang — yang saat itu menjadi pemicu untuk merehatkan egosentris yang telah lama bersemayam.
Alih-alih merasa hilang kendali lantas terpuaskan lewat amarah, yang ada hanya menyisakan duka mendalam.
Dahulu pun, sempat merasa amarah adalah satu-satunya senjata agar tetap merasa waras dan aman — nyatanya malah sebaliknya.
Bahkan sampai saat ini, beberapa kali amarah menjadi opsi yang dipilih. Kayak nggak ada pilihan lainnya aja.
Memarahi pada apa-apa yang tidak sesuai dengan harapan.
Memarahi hal-hal yang secara tiba-tiba tanpa permisi terlebih dulu.
Amarah menjadi tuannya.
Memainkan egosentris dan menjadi pusat dalam diri.
Tanpa masuk akal, ia menjadi raja dalam jiwa yang entah maksudnya memang begitu atau malah sebaliknya.
Berkali-kali pula diyakinkan oleh nurani;
Apa guna melampiaskan amarah?
Kepuasan bagaimana yang didapat?Ribuan kali pula mempertanyakan sendiri;
Mengapa justru membuat masalah baru?
Ternyata tenang lebih mempercepat penyelesaian, ya?
Yaps!
Amarah seringkali hanya menimbulkan efek kepuasan sesaat.
Bahkan, tak jarang setelahnya merundungkan pada penyesalan.
Egosentris yang dimiliki terlalu tinggi, juga akan menjadi senjata dan menyerang diri itu sendiri.
Kehilangan kendali sering dilupa karena amarah telah merebut pandangan menjadi bias.
Namun, mencoba sekali-duakali untuk bersikap tenang saat ada hal-hal yang memicu sensori amarah tadi — justru malah membuat candu.
Menjadi lebih sabar ternyata candu, walau tak selalu.
Dalam agama islam sendiri mengajarkan untuk menyikapi amarah dengan tidak meletup-letup. Secara dasar, biasanya dituntun melalui tiga cara utama:
- Berwudhu’ — agar pikiran menjadi lebih jernih, dan kobaran amarah menjadi padam.
- Memperbanyak berdzikir — mengingat Tuhan agar amarah dapat dihilangkan.
- Sholat — supaya api amarah semakin mengecil hingga hilang letupannya. Semakin teralihkan pada hal-hal baik.
Mengendalikan egosentris (dalam artian sikap amarah), memang tidak mudah bagi sebagian orang dengan latar belakang yang telah akrab dengan segala bentuk kemarahan.
Tapi, ‘mau’ itu kita yang memilih — menjadi kendali sepenuhnya atas pilihan.
Seperti misalnya, mau belajar untuk lebih bersikap tenang walaupun tidak selalu semulus konsep dalam praktiknya.
Tulisan ini tidak tahu akan jemari arahkan kemana. Seolah tak berujung dan tak menyimpulkan apa-apa.
Lagi-lagi, kita yang bisa mengambil kesimpulannya sendiri.
Jangan marah lagi, ya.
Belajar memahami tiap emosi yang datang — sebab dan akibat.
Terakhir, ternyata amarah dan ego yang terlalu tinggi itu tidak memberikan solusi apa-apa — hanya menambah masalah baru.