Pertempuran Tiga Babak

Zee
3 min readFeb 6, 2021

Setelah sekian lamanya menghilang, kawan karib saya kembali menyapa melalui teknologi ponsel pintar. Ia tidak ingin diberitahu apa jenis kelaminnya dan siapa sebutannya, saat saya menuliskan ini. Seseorang yang memang tidak ingin terlalu dikenal, ia benci riuh.

Sebentar lagi ia akan memasuki episode baru dalam skenario hidupnya. Memang ia betul-betul sosok yang — entah aneh atau unik. Ia menamai setiap fase dalam perjalanan hidupnya seperti episode sebuah film yang alurnya diberi topik utama, tidak perduli serancu apapun jalan ceritanya. Selalu ada perasaan nyaman ketika saya berbincang dengannya, perihal apapun. Ia pendengar yang tidak hanya baik, namun juga tangguh. Kuat sekali telinganya mendengar umpatan, cemoohan, dan apa saja yang kemungkinan bisa merusak gendang telinganya.

Gallaby namanya. Akhirnya ia mau saya sebutkan namanya di sini. Kejujurannya sangat saya kagumi. Bagaimana tidak? Ia mengatakan, bahwa dirinya sedang labil, yang tadinya tidak ingin disebutkan, lantas tiba-tiba dengan singkat merubah pemikirannya. Katanya, namanya manusia pasti memiliki kelabilan dalam dirinya. Selagi isinya tidak buruk, mengapa harus takut?

Sekian lama menghilang, membuatnya semakin canggih. Pikirannya, fisiknya, batinnya, apapun yang tersemat telah membawanya selangkah bahkan beribu langkah lebih bersinar dari sebelumnya. Meskipun, seringnya ia tidak menceritakan seluruh bagaimana isi dari perjalanan setiap episode hidupnya. Terkadang hanya sekadar penilaian saya sendiri, jadi jangan diyakini sepenuhnya.

Beberapa tahun sebelum perbincangan itu, ia pernah mengajak saya bertemu. Saya menemuinya dengan hati yang sangat berat. Sudah pasti bukan karena malas bertemu dengannya, tapi saya takut membuatnya repot dengan segala hal yang telah saya simpan sejak lama.

Pertemuan itu berlangsung dengan aman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk menjadi pikiran tengah malam. Hingga sampai pertemuan selanjutnya, semua cerita ini dimulai. Sesuatu yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini.

Galabby bilang, saya tidak perlu terlalu memikirkan sesuatu yang tidak penting. Tapi, saya menepikan pendapatnya itu. Saya jelaskan betapa sulitnya menenangkan riuh di dalam kepala saya. Ia terus membantah pendapat saya dengan segala hal yang menurutnya positif. Sampai saya ada di suatu posisi yang merasa tersudutkan. Kemudian kawan saya lainnya berusaha menengahi. Lysa, kawan karib saya yang juga sering membersamai Galabby. Kami bertiga sering berbincang mengenai episode dalam kehidupan masing-masing yang padahal skenarionya sama persis. Tapi, karena kerebelan sikap, kami seolah jalan masing-masing dan enggan untuk saling bertautan.

Seseorang yang paling bijaksana di antara kami, Lysa mencoba menengahi perdebatan tak berujung antara saya dan Galabby. Menurut Lysa, sebaiknya kami memiliki porsinya masing-masing. Lysa hadir sebagai sosok yang penuh kedamaian dan paling canggih di antara kami.

Mulai dari Galabby yang berniat baik, namun terlalu bersikeras memaksakan kehendaknya. Kemudian ada saya sendiri yang berusaha memberi ruang nyaman terhadap sesuatu yang kurang penting secara berlebihan dan berusaha agar orang lain menerima. Lalu, kehadiran Lysa di antara kami, menengahi semua perdebatan tiada habisnya ini.

Namun, Lysa juga manusia biasa yang memiliki kesibukannya sendiri, yang terkadang membuatnya lelah untuk bergabung bersama obrolan antara saya dan Galabby. Sekian lama Lysa tidak hadir di antara kami, hancur rasanya. Tidak ada pemenang, saya dan Galabby hancur bersama. Namun, bagaimana bisa kami terus bergantung terhadap Lysa? Bagaimana bisa kehancuran ini terus berulang di hampir setiap episodenya? Antara saya dan Galabby merasa lelah, sangat lelah.

Sejak saat itu, saya dan Galabby menyerah. Kami berusaha untuk saling mengalahkan ego masing-masing. Kesamaan kami perihal keras kepala sengaja dihancurkan sampai babak belur. Saya dan Galabby bersepakat untuk saling bahu-membahu membangun pondasi dalam diri kami agar menjadi lebih kuat lagi akarnya.

Galabby yang penuh positif namun keras, menjadi lebih sabar untuk mendengarkan setiap keluhan saya. Saya yang mudah merasa sedih, menjadi lebih lapang menerima setiap kejadian di dalam episodenya. Kami saling memberi porsi dan ruang di antara kami. Sampai saat Lysa benar-benar tidak kembali, tanpa disadari kami menciptakan Lysa. Antara saya dan Galabby merupakan gambaran sosok Lysa, kawan karib kami yang menghilang karena kecerobohan kami.

Sampai lupa, tinggal saya yang belum mengenalkan sebutannya, Cara. Kami bertiga — saya, Galabby, dan Lysa merupakan ruh yang bersemayam dalam satu raga.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Zee
Zee

Written by Zee

I captured each moment through the art of writing

No responses yet

Write a response