
Di setiap ujung ruangan, kebetulan aku di sana. Walaupun sebetulnya aku tidak percaya dengan konsep kebetulan. Tapi maksudku, sepi adalah teman. Kalau kata orang, beranjak dewasa membuat segala yang mudah menjadi rumit—sebaliknya. Kali ini aku tidak setuju— dan tidak semua harus disetujui — atau mungkin aku yang terlalu cepat melajukan isi kepala sehingga membuat segala sesuatu rumit sebelum dewasa itu tiba. Tapi kata dewasa hanya sebuah fiksi, proses menujunya yang bisa diandalkan, aku sedang.
Sebuah laman yang penuh dengan berbagai isu-isu mulai dari yang masih hangat hingga basi, semua hampir termuat. Laman yang aku sudah berkenalan dengannya kira-kira 6 tahun lamanya. Bimbang diri selalu datang menemani laman ini.
Sebuah platform disebut ‘instagram’ yang cara penggunaannya sesuai apa yang diyakini. Aku membuat akun tanpa pemikiran matang, dan usia yang juga belum. Mengunggah potret-potret paling apik untuk diperlihatkan pada pengikut yang saat itu masih sangat sedikit, tapi itu ruangku — sepi.
Dua tahun setelahnya, sekitar 2000 orang mengikuti akun yang aku buat entah untuk tujuan apa, awalnya. Melihat angka 2000 sebagai pengikut instagram tidak terlalu banyak, pikirku saat itu. Mungkin, karena perbandingannya dengan mereka yang berkarya melalui instagram, jelas timpang. Tapi, belakangan setelahnya kupikirkan kembali, 2000 orang jika dikumpulkan dalam satu stadion bisa pengap. Di tengah keganaran bermain instagram, saat itu aku masih terus melakukan apa yang kebanyakan orang kerjakan: mengunggah foto terbaik, saling berkomentar, membalas komentar, menyukai foto tanpa benar-benar menyukai dan masih banyak lainnya yang akhirnya membawaku pada titik tidak nyaman, ini terlalu ramai.
Sampai suatu ketika, aku kesulitan mencari apakah seseorang yang aku suka bertahun-tahun — yang tahun lalu baru kulepaskan secara utuh—melihat snapgramku. Saking banyaknya yang melihat, aku kesulitan mencari namanya. Lagi-lagi, keramaian membuatku sulit. Tapi, bukan itu alasan kemudian aku menghapus akun yang sejak lama membersamai waktu luangku atau mungkin merenggut waktu kerjaku. Aku mengingat betul kejadiannya, seseorang mengirim pesan di instagram, ia mengajakku taaruf dengan format yang begitu serius. Maka, sejak saat itu aku mulai takut dengan instagram. Bagaimana bisa seseorang yang mengaku mengetahuiku — entah mengejek atau serius — membuatku tidak nyaman.
Namun, tuntutan media sosial — yang aku buat sendiri—cukup besar. Aku belum menghapusnya, karena saat itu aku belum melahirkan pemikiran baru. Rasanya masih perlu mengucap selamat ulang tahun, mengunggah momen berharga, mengunggah pemandangan terbaik yang pernah ditemui, dan banyak lagi. Berujung pada seseorang yang baru pertama melihatku dalam suatu acara kampus, kemudian mengirimkan pesan melalui instagram. Lagi-lagi aku merasa takut dengan pesannya, dari situ aku semakin yakin untuk menghapus permanen akun instagram pertamaku.
Mulanya, aku berpikir tidak akan membuat akun instagram lagi. Tapi, kalian yang mengenalku pasti tahu betul, kalau aku mudah merasa tidak enak atas tuntutan orang lain, saat itu. Teman-temanku menanyakan bagaimana mereka bisa menandai foto bersamaku, berinteraksi melalui instagram, atau sekadar melihat kegiatan sehari-hari mereka. Keteguhanku untuk tidak memakai instagram sebagai alat berkomunikasi runtuh, aku kembali membuat akun. Namun, aku sengaja menyaring orang-orang sebagai pengikut dan siapa saja yang akan aku ikuti. 700-an orang sudah menjajaki dan aku kembali merasa tidak nyaman.
Alasan kali ini karena aku mulai memikirkan kepentingan terhadap setiap foto yang diunggah baik melalui feed ataupun instastory. Ternyata sepi benar-benar teman bagiku. Aku terlalu rapat soal diriku, karena ada ketakutan dalam bersosialisasi — yang tidak penting untuk aku jelaskan. Sampai suatu momen seseorang berhasil menebak pribadiku, dan itu langka juga menakutkan.
Pada tahun 2019, percakapan mengenai media sosial ini berkali-kali aku diskusikan dengan salah seorang teman yang seperti saudara bagiku. Kami mendiskusikan ini dengan penuh kewarasan. Aku mau berbagi pandangan ini dengannya, karena aku tahu betul dia memahami kelabilan yang seringnya muncul tiba-tiba dalam diriku. Waktu itu aku cuma bilang, lima menit yang kupakai untuk melihat laman instagram, bisa kualihkan menjadi kebiasaan lamaku untuk membaca pengetahuan yang tidak instan; buku. Dan lagi-lagi, soal konsisten aku masih perlu belajar banyak. Karena ujungnya aku tetap menggunakan instagram yang perlahan aku sadari mulai mengganggu sisi psikologisku. Tidak bisa aku jelaskan di sini, ya walaupun tidak ada yang minta untuk dijelaskan juga.
Prentice Mulford melalui masterpiece yang diciptakannya; Thoughts Are Things membawaku untuk lebih berani melahirkan pikiran, bahkan ruh yang baru. Tapi, aku tidak bisa memastikan sampai kapan aku akan benar-benar pergi dari instagram, karena sepertinya memang ini yang aku butuhkan saat ini, berkarya dalam senyap yang paling.