
Menjadi malam yang panjang untuk ditinggali dengan ribuan miniatur yang menyela melalui tiap sel-sel dalam tubuh. Bab Merelakan sudah menyelesaikan bagian penutupnya sendiri. Untuk tetap tinggal menjadi skenario yang akan merusak keangggunan bab-bab lainnya. Padahal cukup menyadari bahwa tidak pernah ada bab yang benar-benar akan tinggal. Paling tidak, tidak ada yang benar-benar meninggalkan dirinya sendiri.
Memahami dengan betul-betul untuk tidak memercayakan arah laju kepada siapapun. Karena tidak semua baik buruk bisa secara cuma-cuma ada yang bisa mengasihinya. Pada bab Rumah yang tertulis dengan sempurna menggunakan tulang yang telah patah berkali-kali. Juga Amarah Pertama pada Tuhan yang memberinya jalan untuk bangkit berkali-kali, semakin menemui apa yang selama ini disimpan dengan rapi. Elok dilihat dari seberang, pantas saja. Lumuran darah menjelma menjadi gaun merah penuh elegan dengan lekukan tubuh yang terus menari sampai tulang-tulangnya yang pernah patah meminta untuk dirawat kembali.
Jangan tinggal, jangan tinggal, jangan tinggal.
Alunan-alunan berputar di dalam kepalanya sendiri dengan rajutan lirik melewati ribuan luka-luka yang belum juga mengering. Dikoyak-koyak dengan diri sendiri, satu-satunya yang selalu berhasil menjadikannya lebur. Sedikit lagi kakinya akan berdiri tegak, menjadi gagal karena kembali terseret pada bab Tenggelam. Diikuti napasnya yang tersengal pada bab Aku Lupa Bernapas. Untuk tidak menetap tinggal bukan hal kecil yang bisa ia adukan pada bab Pertempuran Tiga Babak. Tapi, sampai nanti kembali dengan bab yang menyadarkan bahwa Dunia (masih) Sama.
Menyelesaikan dengan penuh teka-teki menjelma menjadi pengecut di akhir bab yang perlu untuk dirampungkan. Kalau gagal lagi, pada siapa lagi ia akan tinggal, kecuali kepada miniaturnya sendiri.