
Ada hari yang Tuhan janjikan di antara berlangsungnya panggung-panggung kehidupan.
Hari di mana tulang belulang akan kembali dikumpulkan,
dan jari-jemari yang akan tersusun kembali dengan sempurna.
Kemudian kita bertanya,
Kapan akan tiba?
Tiba saat mata-mata ketakutan akan terbelalak,
dan bulan yang mulai kehilangan cahayanya,
diiringi perjumpaannya dengan matahari.
Kemudian kita kembali mempertanyakan,
Ke mana tempat berlari mencari aman?
Tempat berlindung yang sudah habis,
kemudian menuju Tuhan menjadi satu-satunya arah jalan pulang keabadian.
Hari semua catatan milik masing-masing digelar, dipertontonkan, disuarakan.
Dan kita menjadi saksi, atas diri sendiri.
Dikatakan, Tuhan suka sesuatu yang hati-hati, yang menjauhi tergesa-gesa.
Lalu, kita genggam erat kecintaan pada dunia.
Kecuali mereka yang mau memikirkan, pada hari dimana akan dihadapkan wajahnya pada Tuhan yang diyakini.
Lalu, ketika napas tersekat sampai di kerongkongan.
Perpisahan antara ia dan kecintaannya terjadi.
Kemudian pergi dengan meninggalkan kesombongan-kesombongan, dalam keadaan yang paling celaka.
Kita tidak (lagi) bisa berlari,
dari setiap tanggung jawab yang kita pilih, kita emban, kita terima.
Kemudian kita mengingat kejadian sebelum berwujud, hanya dalam setetes mani—yang ditumpahkan ke dalam rahim. Dengan kesempurnaan yang kita miliki, menjalankan perannya dari panggung ke panggung.
Sampai mereka bertemu sepasang, saling mencintai dalam rencana Tuhan.
Menjumpai akhir percakapan, kemudian menemui kesimpulan akan semua kuasa Tuhan.
Dilembutkannya hati yang keras.
Dijumpainya sepasang kekasih.
Dihidupkannya sesuatu yang sempurna.
Dikasihinya dalam setiap panggung-panggung sampai menuju panggung terakhir milik ceritanya sendiri.