Sebuah ruang yang hanya diisi oleh kepingan-kepingan rasa mencari ketenangan, disinilah sepi berteman akrab dengannya.
Secarik kertas kosong menggerakkan tangan untuk menorehkan apa-apa yang semula hanya terngiang-ngiang.
Ternyata yang mahal dari rentetan kerja keras adalah sabar yang tiada habisnya. Pada setiap penantian yang belum bertemu ujungnya, ia memasukkan sabar di sekat-sekat kehampaan.
Kau adalah cukup yang selalu aku semogakan, pintanya pada ruang kosong berisi baris-baris kesabaran. Hatinya dipenuhi tempat-tempat teduh, sebagai bekal untuk beranjak dari kosong yang semula hanya terasa hampa.
Semuanya sudah teramu di depan mata. Berisi anyaman-anyaman perjalanan mencari ketenangan. Kau sudah penuh, bisiknya berkali-kali.
Manusia itu tidak hitam putih, teriaknya. Spektrum warna menciptakannya bagai hutan belantara penuh bising, tenang, sepi, seram, dan masih sangat banyak.
Apa-apa yang berlalu jangan terlalu diambil hati, ia mencoba memberi nasihat. Nanti hidupmu tidak akan beranjak kemana-mana, imbuhnya.
Ah, selama cinta memenuhi ruang-ruang kosong penuh tanda tanya semua akan baik-baik saja. Jari-jemari yang mulai lihai merangkai kalimat penenang, ia hampir berhasil. Karena sukar belum tentu tidak mungkin.
Hidup ini selaiknya mengulang mata pelajaran. Kalau belum menguasai, harus terus mau belajar sampai bebas dari remedi. Sampai bibir mengecap, “Ternyata bisa juga ya dilewati.”
Tapi ingat, Tuhan tidak mau kita menjadi congkak. Padahal kita yang lemah ini hanya diberi sedikit manifestasi kehebatan-Nya. Segitu saja masa mau sombong, malu ah pada tanaman padi yang semakin berisi malah memilih untuk merunduk.
Kita ini bagaikan sebuah buku yang menulis ceritanya sendiri ya? Pada bab-bab tertentu akan terlihat penuh padahal terasa hampa. Bagian-bagian yang kita pilih adalah tergantung — mau covernya yang bagus, ya monggo, mau isinya yang bagus, ya monggo, mau keduanya yang bagus, ya monggo.
Siapa berhak melarang apa-apa yang tidak merugikan?